Assalamualaikum

- ASSALAMUALAIKUM - AHLAN WA SAHLAN DI BLOG ANA YAA IKHWAH -

Selasa, 20 Januari 2015

Kandungan Laa ilaaha illallaah / Tauhid (seri- 2)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pada seri ke 2 Insha Allah penulis akan membahas Arbaab (tuhan-tuhan pengatur).

2.Arbaab (tuhan-tuhan pengatur)

Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbaab, berlepas diri daripada Arbaab.
Apa Arbab…?? Ia adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.

Kita sebagai makhluk Allah, dan konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga telah memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah… hanya Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘Alamin karena Allah yang mengatur alam raya ini, baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.

Apa rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)

Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :
1.Orang-orang nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka .
2.Mereka telah beribadaha kepada selain Allah
3.Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4.Mereka musyrik
5.Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan.


Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, (asalnya beliau ini Nashrani) sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya kemusyrikan apa yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ?, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orangt nashrani) terhadap mereka”
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!

Di dalam contoh ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)

Ayat ini berkenaan tentang masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dan dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bahwa bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, beliau menjawab: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah) maka kalian ini orang-orang musyrik”.

Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!

Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah yang lainnya:

إنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

 “…Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 40)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.

Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.

Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.

Makanya tidak aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah dan mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)

Sekarang… kita hubungkan dengan realita: Kan ada sistem demokrasi… Yang namanya orang berpendidikan pasti mengetahui apa demokrasi, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti, dan memang dalam sistem demokrasi seperti itu !
Sistem demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelu itu, ed) di mana hal itu dilakukan agar terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kedzaliman yang mereka lakukan, kediktatoran otoriter di atas nama tafwidl ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar :

1.Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.
2.Kebebasan mengeluarkan pendapat
3.Hukum berada di tangan rakyat
4.Melepas norma akhlak dari agama


Dalam masalah ini kita secara khusus mengambil masalah “hukum berada ditangan rakyat”, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).

Mari kita perhatikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum dengan kata lain, bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuatan hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini kumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Dan nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa dilihat ketika pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat… aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini bahwa yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.

Jika dalam surat Al An’am 121 yang mana satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaitan (Arbaab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan lain kata bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).

Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa itu arbaab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: “Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU)”, atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang…” dst. Dan juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Dan itu semua adalah Arbaab-Arbaab yang ada di Indonesia… sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa Arbab atau para pengaku tuhan, maka pahamilah tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.

Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ hukum potong tangan muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi tetap hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang di akui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi :Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti itulah yang ada.

Dan ketika membuatnya: mereka (partai-partai Islam) mengambil dari Al Qur’an tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada tuhan-tuhan “besar” yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada Arbaab-Arbaab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur… Jadi, hukum Allah disodorkan kepada mereka ~karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas~ dan ketika berada di atas (MPR/DPR) setujui atau tidak. Jika tidak setuju maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan Arbab…! Dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat sekian atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya…!!

Jadi semua itu adalah hukum Arbab. Arbabnya banyak… ada Arbab dari partai PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah Arbaab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (٣٩) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12] : 39-40)

Ayat: “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll.. Dan ayat: “yang kalian ibadati” maksudnya di sini adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya, KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang mereka membuatnya sendiri lalu mereka yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Dan Arbab-Arbab itu adalah pengaku tuhan.

Supaya lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti, tuhan yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget…!”, padahal semua itu adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa Arbaab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh (umpamanya), fraksi lain menggodok undang-undang tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, mereka menggodok undang-undang dan hukum. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (mejadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ketengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut ketika menegakkan hukum buatannya itu bukan “sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan : “Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian…!”.

Nah… setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen”, seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah maka berhala yang sudah jadi itu di potong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!

Jadi, berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi dan lebih dahsyat dan lebih berbahaya karena apabila menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut maka akan dipaksakan.

Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali yang Allah ulurkan dari sisin-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, di mana barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.

Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para Arbaab (para pengaku tuhan itu).
Fir’aun mengatakan: “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Fir’aun lahir pun manusia telah ada, masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya !

Jadi, ketika Fir’aun mengatakan hal itu bukan karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.

Apabila telah paham apa yang di ucapkan fir’aun itu, berarti akan kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah Fara’inah.Para pembuat hukum itu itulah Fir’aun…
Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan idiolodi-idiologi kafir di sekolahan-sekolahan milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sehingga dewasa lalu tidak taubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya !! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa baru dibunuh jasadnya atau dimasukan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.

Jadi… itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi dia makasudkan “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah : 31, mengatakan : “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]

Jadi, kesimpulannya bahwa Arbaab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:

فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ

“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para Arbaab itu adalah disebut orang yang beribadah kepada Arbaab tersebut

Dan ini adalah penjelasan tentang Arbaab yang mana ini adalah hal bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah…

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar